Sejarah singkat asal usul Kota bandung
         
Mengenai  asal-usul nama “Bandung”, dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian  mengatakan bahwa, kata “Bandung” dalam bahasa Sunda, identik dengan kata  “banding” dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding  (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain  dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka  (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa  kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
 
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata “bandung” mengandung arti besar  atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,  ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun  terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi  menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung  berasal dari kata bendung.
 
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan  sebutan “Tatar Ukur”. Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten  Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan  Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah  dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,  Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan  Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati  Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup  sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang  disebut “Ukur Sasanga”.
 
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan  Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat,  Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus  Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah  pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di  Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang  sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian  disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
 
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa di Bandung  jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom  yang dapat mengurus kepentingan mereka
 
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati  RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial  tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, Ketetapan  itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan,  terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente  Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota  (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh  burgemeester (walikota).
 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.