Senin, 07 Mei 2012

Problematika Dalam Ber Dakwah

DEMI tantangan dakwah, dai di pedalaman rela menempuh jalan jauh dan menahan lapar. Demi rating, tayangan dakwah dikemas berbeda. Bersama sejumlah dai dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Asep Jayanegara menelusuri pedalaman Enggano, Bengkulu. Untuk sampai ke daerah itu, Asep yang sudah bergabung dengan DDII sejak tahun 1980, harus menempuh perjalanan selama 16 jam dengan menggunakan perahu seadanya. Sejumlah pedalaman pun pernah ditempuhnya baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya.
Demi panggilan dakwah, ia pantang mengeluh. “Tantangan terberat yang dihadapi hanya masalah transportasi,” ujarnya, menyederhanakan masalah. Menuju satu kecamatan, butuh waktu berjam-jam. Menuju Enggano yang berpenduduk 2.000 jiwa Muslim, butuh waktu 16 jam dari Pelabuhan Bengkulu. Padahal yang sebenarnya, ia kerap menahan lapar karena terbatasnya bahan pangan. Ia juga kerap tidur di masjid atau mushala yang bila malam tanpa lampu penerangan dan tidak ada fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) yang memadai.
Pengalaman senada dirasakan para juru dakwah yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Syamsuddin, Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LD-NU) ini, berbagai hambatan dan tantangan banyak dihadapi para juru dakwah terutama masalah ekonomi. “Ini persoalan klasik, namun benar-benar menjadi hambatan bagi para juru dakwah,” ujarnya. Beruntung, lembaganya kini menemukan kiat mengatasi masalah itu. “Para juru dakwah kita bekali keahlian lain, entrepreneurship. Dengan begitu mereka bisa mengatasi masalah ekonomi.”
Kontras dengan dai di daerah terpencil, dai di kota besar sangat berbeda kondisinya. Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Hussein Umar menyebutkan, sekarang ini sering dakwah dialihkan fungsinya. Yang ia maksudkan, adalah bisnis dengan bungkus dakwah. “Meski berbekal ilmu seadanya, tapi karena rating dakwahnya di teve bagus, maka kehidupan ekonomi seorang dai pun cukup mapan,” jelasnya ketika membuka Lokakarya Para Dai DDII se-Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, di Gedung DDII beberapa waktu lalu.
Sah-sah saja apa pun jalan yang ditempuh untuk menyeru umat. Bagaimanapun, menurut mantan Ketua Korps Muballigh DKI Jakarta, Ahmad Sumargono, tugas sebagai juru dakwah adalah mulia. Menurut dia, kedatangan Islam utamanya adalah untuk mengubah satu struktur masyarakat yang jahiliyah menjadi bertatanan. “Artinya dari nilai yang nothing menjadi something,” ujarnya.
Di dalam prosesnya, kegiatan dakwah seringkali berbenturan dengan tatanan yang sudah mapan. Ini terjadi sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang. Jika Nasakom dan Demokrasi Terpimpin menjadi momok di zaman Orla dan azas tunggal di zaman Orba, maka tantangan sekarang adalah sekularisasi.
Sayangnya, tak jarang kalangan penyeru pun tergiring ke sana. Ia menyebut, kini banyak ‘dai selebriti’; ilmunya kurang, tapi demi kepentingan bisnis, berani di-geber besar-besaran. Akibatnya, hal-hal yang substansial yang mestinya disampaikan pun luput. Lalu, ada lagi sinetron yang tadinya ditujukan untuk berdakwah, justru mengemas hal-hal berbau mistis dan visualisasi yang justru menyimpang dari Islam. “Kalau saya lihat ini implementasi dakwah yang salah,” ujarnya.
Ketua Korps Muballigh Nasional Muhammadiyah, Dr dr Tarmizi Taher, mengungkapkan, rating di televisi itu bisa karena kocak, gagah, pas dengan masyarakat sekitarnya, dan tidak tentang materi siarannya. “Kalau dalam bahasa dakwah, kita akan kehilangan roh dari agama dalam tayangan itu. Apa roh agama? Keikhlasan, kesederhanaan,” ujarnya.
Namun, ia meminta untuk jernih melihat masalah. Dakwah, kata dia, bisa dilakukan dengan banyak cara. Apa yang dilakuan mereka di pedalaman, tentu berbeda dengan dai di perkotaan, karena jamaah yang dihadapinya pun beda. Bahkan, kata dia, seorang penulis yang produktif menghasilkan tulisan-tulisan yang mencerahkan umat, dia adalah juga seorang dai.
Begitu juga dakwah di dunia maya. “Saya setuju sekali dakwah melalui internet; di milis-milis, e-mail,dan website, karena masyarakat terpelajar kekurangan waktu, cara ini akan memberikan masukan yang sangat berguna,” ujarnya. Dakwah model ini dinilainya sangat praktis, personal, dan efektif. “Kalau kita dulu, cari buku ke perpustakaan, mungkin seminggu baru dapat separuh dari buku yang kita butuhkan. Kini tinggal klik Perpustakaan Buya Hamka, berapa saat kemudian keluar sederet buku-buku Buya Hamka,” ia mencontohkan. Intinya, kata dia, seorang dai harus memanfaatkan ilmu dan teknologi. “Sehingga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran, banyak senjatanya,” ujar Tarmizi menambahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.