bicara Tentang Teologi Islam
Sepanjang beberapa abad umat manusia telah menyaksikan pasang surut peradaban. Sejarah menunjukkan tidak ada satu pun dari peradaban yang mencapai kejayaan itu bertahan hingga kini. Semua peradaban tersebut mengalami kejatuhan pasca kejayaannya. Tampaknya Heraclitos—Filosof Yunani di masa klasik—benar, bahwa tidak ada yang abadi, semuanya mengalami perubahan, dan yang abadi hanya perubahan itu sendiri.
Namun perubahan itu tidak semata-mata takdir yang tidak bisa dipahami polanya. Dengan kata lain, perubahan dari kejayaan kepada kehancuran memiliki pola yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, dengan mengacu kepada pola-pola umum tersebut kejayaan bisa diatur, dikontrol, dan diprediksi. Meskipun hukum perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi, namun perubahan tersebut sebenarnya bisa diarahkan lebih baik.
Dasar Kepercayaan
Pada dasarnya, bangsa-bangsa yang peradabannya pernah mencapai kemajuan tidak bisa dilepas dari apa yang mereka percayai. Kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat transenden—sedikit ataupun banyak—telah memberi inspirasi dan dorongan untuk berkreasi. Begitupula kehancuran sebuah peradaban, kepercayaan yang despotik berpengaruh terhadap kehancurannya. Kejayaan bangsa Yunani mengalami titik balik akibat kepercayaannya yang despotik, dengan membagi masyarakat secara hirarkis. Berlandas pada kepercayaan adanya sekelompok manusia yang diciptakan oleh Dewa (Tuhan) sebagai mahluk mulia, sedangkan sebagian yang lain sebagai pelayannya. Dalam masyarakat Yunani kemuliaan manusia ditentukan oleh faktor keturunan, sehingga seorang bangsawan akan senantiasa melahirkan orang-orang mulia, sementara seorang budak akan melahirkan generasi budak dan pekerja kasar. Tidak jauh berbeda dengan itu, peradaban Mesir kuno pun mengalami titik balik akibat kepercayaan yang despotik. Perbudakan manusia menjadi salah satu faktor kehancuran peradaban. Dalam konteks seperti itu kita dapat memahami mengapa Nabi dan Rasul diutus ke sebuah masyarakat. Para Nabi dan Rasul itu memperbaiki kondisi masyarakat dengan pendekatan agama. Mereka menawarkan konsep tauhid, konsep kepercayaan yang mengkritisi despotisme religius.
Korelasi antara sistem kepercayaan—atau bisa kita sebut teologi—dan peradaban juga bisa dilihat dalam peradaban Islam. Kemajuan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan dukungan teologi Islam. Hal ini bisa ditelusuri dengan melihat dan membandingkan perkembangan peradaban masyarakat Arab pada umumnya sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Teologi Islam memberikan pengaruh signifikan dalam menanamkan kecintaan dan keberanian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Meski ilmu pengetahuan yang dikembangkan itu banyak diadopsi dari peradaban bangsa lain seperti Yunani, Persia, China, dan seterusnya, namun sejarah membuktikan bahwa keberhasilan umat Islam dalam mengembangkannya tidak bisa dilakukan oleh bangsa lain—dengan teologi lain pula tentunya.
Umat Yahudi—yang keberadaannya jauh lebih lama dari Islam—misalnya, telah berinteraksi cukup lama dengan ilmu pengetahuan dari peradaban yang sudah maju saat itu, namun mereka memerlukan waktu ribuan tahun untuk bisa “bersahabat” dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Itu justru atas bimbingan umat Islam di masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah (abad ke-7 hingga 13 M). Begitu pula umat Kristen, di awal pertumbuhannya justru umat Kristen memusuhi ilmu pengetahuan, lantaran ilmu pengetahuan banyak dikembangkan oleh penganut paganisme. Bahkan di Iskandariyah umat Kristen membunuh seorang ilmuwan perempuan dan membakar habis buku-buku di perpustakaan besar Iskandariyah. Padahal buku-buku tersebut bernilai penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesudahnya. Semua itu menunjukkan bahwa teologi Yahudi dan Kristen tidak mampu menginspirasi—apalagi mendorong—kemajuan sebuah peradaban.
Berbenturan
Sebetulnya sejarah Islam juga tidak sepi dari benturan antara agama di satu sisi dengan ilmu pengetahuan di sisi lain. Namun benturan itu lebih disebabkan oleh kesalah-pahaman dalam memahami kandungan kitab Al-Quran. Benturan yang dapat kita telusuri—terutama—adalah kritik Imam al-Ghazali terhadap hukum keteraturan dan kausalitas dalam alam. Dalam bukunya “Tahaafut al-Falaasifah”, al-Ghazali menolak pola kausalitas, sebab menafikan peran Tuhan dalam peristiwa alam. Dalam pandangan banyak pengamat keislaman, pandangan al-Ghazali yang sangat berpengaruh luas terhadap umat Islam itu berdampak pada pengabaian—jika bukan penolakan—terhadap tradisi penelitian yang selama beberapa abad telah menjadi etos keilmuan umat Islam.
Namun meskipun benturan itu terjadi—dan berdampak pada surutnya tradisi keilmuan di dunia Islam—tidak serta merta menunjukkan kegagalan teologi Islam dalam menopang peradabannya. Hal itu lebih disebabkan oleh kekeliruan umat Islam dalam memahami kekuasaan Tuhan dalam berhadapan dengan fenomena alam dan sosial. Oleh karena itu, perkembangan peradaban Islam bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan itu tergantung pada sejauhmana konsep tauhid dan kekuasaan Tuhan dimaknai secara selaras dengan anjuran ber-tafakkur dan tadabbur. Kedua istilah tersebut sebenarnya sangat menekankan pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal mana saat ini menjadi etos keilmuan dalam masyarakat Barat. Karena itu tidak salah jika Muhammad Abduh mengatakan bahwa ia melihat Islam di Eropa tanpa umatnya, dan melihat Islam di Mesir tanpa Islamnya. Oleh sebab itu, sepanjang umat Islam belum kembali kepada teologi Islam yang selaras dengan Al-Quran, maka dunia Islam akan mengalami stagnasi selama hayatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.