Berapa harga ilmu pengetahuan? Hmm mari kita berhitung. Kebanyakan orang masih berfikir bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh “ilmu pengetahuan” adalah dengan masuk ke jenjang sekolah secara formal & memperoleh ijazah untuk modal kerja di kemudian hari. Dengan berdasarkan pada pola berfikir demikian maka perhitungannya menjadi sederhana biaya SD-SMP-SMU rata-rata SPP Rp. 50.000 / bulan x 12 bulan x 12 tahun = Rp. 7.200.000,- untuk seorang anak sampai SMU. Cukup lumayan mahal walaupun masih agak banyak keluarga di Indonesia yang agak mampu untuk membayari-nya.
Bagaimana dengan perguruan tinggi? Saat ini di dominasi oleh PTS yang jumlahnya sekitar 1300-an dibanding PTN yang mungkin hanya sekitar 60-70-an saja. Berapa biaya seseorang untuk menjadi sarjana D3 / S1? Rata-rata biaya SPP Rp. 3 juta / semester x 2 semester x 4 tahun = Rp. 24 juta / orang belum termasuk biaya hidup, uang pembangunan dll. Dengan biaya hidup, biaya total untuk memperoleh gelar sarjana D3 / S1 bisa mencapai Rp. 50 juta / orang terutama jika harus kost di kota lain.
Mahal? Memang mahal biaya pendidikan menggunakan jalur formal yang di atur oleh DIKNAS. Dengan berbagai alasan pendidikan menjadi mahal karena kontrol kualitas (Quality Control). Kontrol kualitas yang diatur oleh DIKNAS memang mahal, belum termasuk uang siluman kwitansiless untuk ijin mendirikan PTS. Berapa biaya untuk memperoleh akreditasi? Biaya bangunan, perpustakaan, menyekolahkan dosen dll? Semua-nya biaya & mahal …..
Lha apakah orang yang tak mampu untuk membayar demikian mahal terus harus menjadi bodoh? Apakah program pembodohan terstruktur yang dilakukan oleh DIKNAS terhadap bangsa Indonesia? Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang ada ternyata proses pembodohan bangsa yang terjadi pada banyak program pemerintah (termasuk bidang saya di Telekomunikasi & Internet).
Hmmm kalau saya lihat sebetulnya yang paling mahal adalah ijazah-nya. Coba kalau kita mau berfikir alternatif, sebetulnya ilmu pengetahuan bisa menjadi tidak ada harganya bagi si pencari ilmu; asalkan si pencari ilmu tidak mencari ijazah. Banyak sekali ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh secara gratis, selama anda bersedia menerima-nya tanpa ijazah dari pemerintah / perguruan tinggi. Lha terus proses pengakuannya bagaimana? Ya langsung dari masyarakat saja, dengan cara menulis, memberikan ilmu yang kita miliki kepada masyarakat, memberikan servis kepada masyarakat, memberikan manfaat kepada masyarakat - maka masyarakat secara perlahan keberadaan, kepakaran, kepiawaian kita akan di akui oleh masyarakat.
Pada jaman dahulu kala, mungkin proses ini di namakan nyantri di pesantren untuk menjadi da’i, atau magang di perguruan persilatan / shao lin untuk menjadi pendekar. Setahu saya banyak Da’i / Kiai & pendekar yang tidak memiliki ijazah dari pemerintah, tapi memperoleh pengakuan luas di masyarakat. Proses yang sama juga sebetulnya terjadi di banyak bidang ilmu pengetahuan; bahkan mungkin yang lebih ekstrim lagi di dunia teknologi informasi & Internet proses ini terlihat sangat dominan sekali. Jangan lah berharap untuk memperoleh ilmu dari bangku sekolah di Indonesia di bidang IT, karena DIKNAS dengan kurikulum nasional-nya sudah pasti lelet, lambat & ketinggalan jaman, masa WordStar & Lotus 123 masih di ajarkan di kuliah S1, itu sama saja membuang waktu & menggelikan bagi praktisi IT di lapangan.
Linux barangkali merupakan media belajar paling baik bagi anda yang ingin terjun ke dunia IT secara nyantri. Mengapa? Karena semua source code-nya terbuka & bisa dipelajari dengan mudah, semua dokumentasinya biasanya di sertakan di directory /usr/share/doc. Banyak sekali tempat diskusi Linux, terutama di http://www.linux.or.id seperti linux-admin@linux.or.id & linux-setup@linux.or.id. Semua ilmu pengetahuannya menjadi sangat transparan & dapat diperoleh secara hampir gratis, yang perlu dilakukan oleh si pencari ilmu adalah aktif berdiskusi & menggantikan media Linux yang biasanya berupa CDROM yang harganya sekitar Rp. 20.000-an di Mangga Dua / Glodok Jakarta. Hasilnya, anda akan jauh lebih baik & jauh lebih terpakai ilmunya daripada sekedar mengikuti kurikulum nasional DIKNAS yang serba ketinggal jaman itu.
Di atas, adalah pola nyantri yang terjadi di dunia teknologi informasi dapat dengan mudah di konversikan ke bidang ilmu lainnya, akan lebih mudah lagi jika mereka bersedia menggunakan teknologi informasi sebagai medianya. Bayangkan untuk mencapai gelar sarjana, seseorang harus mengambil ilmu pengetahuan sebanyak 144 SKS (Sistem Kredit Semester). Kalau kita asumsikan rata-rata mata kuliah 3 SKS & menggunakan empat (4) buah buku referensi (@ 200 halaman / buku) tiap mata kuliah. Maka untuk memperoleh gelar sarjana jumlah halaman yang harus dibaca adalah sekitar 40.000 halaman. Secara elektronik, jika rata-rata satu halaman membutuhkan tempat 5Kbyte, maka hanya dibutuhkan tempat sebesar 200Mbyte saja untuk menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk menjadikan seseorang menjadi sarjana. Padahal satu buah CDROM mempunyai kemampuan menampung 650Mbyte data, artinya seluruh ilmu untuk menjadi sarjana dapat di simpan hanya dalam satu buah CDROM saja! Gila-nya, biaya mencetak sebuah CDROM secara massal hanya Rp. 1000,- saja, biaya untuk mengcopy CDROM di pasaran sekitar Rp. 15-20.000,-.
Masalah utamanya adalah hakcipta (copyright), karena sebagian orang yang memiliki ilmu sangat takut untuk memberikan ilmu-nya kepada orang lain, karena takut hak ekonomis yang ada nantinya hilang. Sayang, tidak banyak manusia tidak menyadari dari mana sebetulnya ilmu pengetahuan itu berasal – bagi penganut aliran copyleft / copywrong yang memberikan ilmu-nya secara gratis, maka pola pendidikan informal ini menjadi sangat powerful.
OK lah, membaca untuk CDROM anda harus memiliki komputer. Membaca CDROM saja pasti pusing, ada baiknya berdiskusi juga dengan teman / dosen / profesor, akses Internet akan sangat membantu.
Jika anda kaya, dapat membeli komputer Rp. 4-5 juta / buah. Di tambah biaya akses Internet, yang jika hanya digunakan untuk e-mail saja (bukan web & chatting), akan dapat di tekan menjadi sekitar Rp. 40.000,- / bulan untuk ISP-nya & Rp. 250.000 / bulan untuk Telkom; atau biaya telekomunikasi sekitar Rp. 14 juta s/d tamat menjadi sarjana. Jadi total Rp. 20 juta / sarjana untuk peralatan komputer & telekomunikasinya.
Alternatif lain adalah dengan berlangganan ke WARNET, dengan Rp 5000 / jam! Atau numpang ke komputer teman / tetangga – itu amat sangat jauh lebih murah daripada berlaga kaya seperti di atas.
Selain CDROM, proses diskusi dengan teman, dosen, profesor merupakan bagian penting dalam proses pemandaian seseorang. Diskusi merupakan mekanisme mendasar dalam mentransfer pengetahuan tacit (implisit) yang sangat penting untuk menjiwai, memahami jiwa dari ilmu pengetahuan yang sedang kita pelajari. Proses diskusi tidak memakan biaya banyak, tapi akan banyak memakan waktu. Pernah membayangkan membaca diskusi sebanyak 600 e-mail / hari? Dan di lakukan selama 10 tahun? Itulah yang perlu dilakukan setiap hari bagi seseorang yang ingin menjiwai ilmu-nya secara informal.
Keuntungan lain dengan keaktifan kita dalam berdiskusi, pada akhirnya acknowledgement akan diperoleh dari masyarakat banyak. Tanpa ijazah, tanpa secarik kertas di stempel, masyarakat pada akhirnya akan mengakui kepiawaian seseorang dari cara seseorang tadi menjawab berbagai pertanyaan, berinteraksi, berargumentasi dsb. Pada saat masyarakat mengakui kepiawaian seseorang, pada saat itulah pekerjaan, permintaan, permohonan akan datang pada seseorang tersebut & rizki tidak perlu dikuatirkan lagi. Perlu di catat disini bahwa semua proses mengacu pada hukum adat, konsensus & etika masyarakat, tanpa berbasis pada ijazah, stempel, cap!
Jelas disini biaya yang dibutuhkan bisa ditekan tidak perlu Rp. 50 juta / orang untuk menjadikan seseorang menjadi sarjana. Jika cukup kaya dapat investasi sekitar Rp. 20 juta untuk peralatan komputer & biaya telekomunikasi / internet selama 4 tahun untuk proses pemandaian secara informal. Atau bagi anda yang ingin memperoleh ilmu pengetahuan seorang sarjana secara murah banget dapat ditekan menjadi sekitar Rp. 20.000,- + Rp. 5000 / jam atau meminjam komputer kepunyaan teman.
Bagaimana dengan perguruan tinggi? Saat ini di dominasi oleh PTS yang jumlahnya sekitar 1300-an dibanding PTN yang mungkin hanya sekitar 60-70-an saja. Berapa biaya seseorang untuk menjadi sarjana D3 / S1? Rata-rata biaya SPP Rp. 3 juta / semester x 2 semester x 4 tahun = Rp. 24 juta / orang belum termasuk biaya hidup, uang pembangunan dll. Dengan biaya hidup, biaya total untuk memperoleh gelar sarjana D3 / S1 bisa mencapai Rp. 50 juta / orang terutama jika harus kost di kota lain.
Mahal? Memang mahal biaya pendidikan menggunakan jalur formal yang di atur oleh DIKNAS. Dengan berbagai alasan pendidikan menjadi mahal karena kontrol kualitas (Quality Control). Kontrol kualitas yang diatur oleh DIKNAS memang mahal, belum termasuk uang siluman kwitansiless untuk ijin mendirikan PTS. Berapa biaya untuk memperoleh akreditasi? Biaya bangunan, perpustakaan, menyekolahkan dosen dll? Semua-nya biaya & mahal …..
Lha apakah orang yang tak mampu untuk membayar demikian mahal terus harus menjadi bodoh? Apakah program pembodohan terstruktur yang dilakukan oleh DIKNAS terhadap bangsa Indonesia? Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang ada ternyata proses pembodohan bangsa yang terjadi pada banyak program pemerintah (termasuk bidang saya di Telekomunikasi & Internet).
Hmmm kalau saya lihat sebetulnya yang paling mahal adalah ijazah-nya. Coba kalau kita mau berfikir alternatif, sebetulnya ilmu pengetahuan bisa menjadi tidak ada harganya bagi si pencari ilmu; asalkan si pencari ilmu tidak mencari ijazah. Banyak sekali ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh secara gratis, selama anda bersedia menerima-nya tanpa ijazah dari pemerintah / perguruan tinggi. Lha terus proses pengakuannya bagaimana? Ya langsung dari masyarakat saja, dengan cara menulis, memberikan ilmu yang kita miliki kepada masyarakat, memberikan servis kepada masyarakat, memberikan manfaat kepada masyarakat - maka masyarakat secara perlahan keberadaan, kepakaran, kepiawaian kita akan di akui oleh masyarakat.
Pada jaman dahulu kala, mungkin proses ini di namakan nyantri di pesantren untuk menjadi da’i, atau magang di perguruan persilatan / shao lin untuk menjadi pendekar. Setahu saya banyak Da’i / Kiai & pendekar yang tidak memiliki ijazah dari pemerintah, tapi memperoleh pengakuan luas di masyarakat. Proses yang sama juga sebetulnya terjadi di banyak bidang ilmu pengetahuan; bahkan mungkin yang lebih ekstrim lagi di dunia teknologi informasi & Internet proses ini terlihat sangat dominan sekali. Jangan lah berharap untuk memperoleh ilmu dari bangku sekolah di Indonesia di bidang IT, karena DIKNAS dengan kurikulum nasional-nya sudah pasti lelet, lambat & ketinggalan jaman, masa WordStar & Lotus 123 masih di ajarkan di kuliah S1, itu sama saja membuang waktu & menggelikan bagi praktisi IT di lapangan.
Linux barangkali merupakan media belajar paling baik bagi anda yang ingin terjun ke dunia IT secara nyantri. Mengapa? Karena semua source code-nya terbuka & bisa dipelajari dengan mudah, semua dokumentasinya biasanya di sertakan di directory /usr/share/doc. Banyak sekali tempat diskusi Linux, terutama di http://www.linux.or.id seperti linux-admin@linux.or.id & linux-setup@linux.or.id. Semua ilmu pengetahuannya menjadi sangat transparan & dapat diperoleh secara hampir gratis, yang perlu dilakukan oleh si pencari ilmu adalah aktif berdiskusi & menggantikan media Linux yang biasanya berupa CDROM yang harganya sekitar Rp. 20.000-an di Mangga Dua / Glodok Jakarta. Hasilnya, anda akan jauh lebih baik & jauh lebih terpakai ilmunya daripada sekedar mengikuti kurikulum nasional DIKNAS yang serba ketinggal jaman itu.
Di atas, adalah pola nyantri yang terjadi di dunia teknologi informasi dapat dengan mudah di konversikan ke bidang ilmu lainnya, akan lebih mudah lagi jika mereka bersedia menggunakan teknologi informasi sebagai medianya. Bayangkan untuk mencapai gelar sarjana, seseorang harus mengambil ilmu pengetahuan sebanyak 144 SKS (Sistem Kredit Semester). Kalau kita asumsikan rata-rata mata kuliah 3 SKS & menggunakan empat (4) buah buku referensi (@ 200 halaman / buku) tiap mata kuliah. Maka untuk memperoleh gelar sarjana jumlah halaman yang harus dibaca adalah sekitar 40.000 halaman. Secara elektronik, jika rata-rata satu halaman membutuhkan tempat 5Kbyte, maka hanya dibutuhkan tempat sebesar 200Mbyte saja untuk menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk menjadikan seseorang menjadi sarjana. Padahal satu buah CDROM mempunyai kemampuan menampung 650Mbyte data, artinya seluruh ilmu untuk menjadi sarjana dapat di simpan hanya dalam satu buah CDROM saja! Gila-nya, biaya mencetak sebuah CDROM secara massal hanya Rp. 1000,- saja, biaya untuk mengcopy CDROM di pasaran sekitar Rp. 15-20.000,-.
Masalah utamanya adalah hakcipta (copyright), karena sebagian orang yang memiliki ilmu sangat takut untuk memberikan ilmu-nya kepada orang lain, karena takut hak ekonomis yang ada nantinya hilang. Sayang, tidak banyak manusia tidak menyadari dari mana sebetulnya ilmu pengetahuan itu berasal – bagi penganut aliran copyleft / copywrong yang memberikan ilmu-nya secara gratis, maka pola pendidikan informal ini menjadi sangat powerful.
OK lah, membaca untuk CDROM anda harus memiliki komputer. Membaca CDROM saja pasti pusing, ada baiknya berdiskusi juga dengan teman / dosen / profesor, akses Internet akan sangat membantu.
Jika anda kaya, dapat membeli komputer Rp. 4-5 juta / buah. Di tambah biaya akses Internet, yang jika hanya digunakan untuk e-mail saja (bukan web & chatting), akan dapat di tekan menjadi sekitar Rp. 40.000,- / bulan untuk ISP-nya & Rp. 250.000 / bulan untuk Telkom; atau biaya telekomunikasi sekitar Rp. 14 juta s/d tamat menjadi sarjana. Jadi total Rp. 20 juta / sarjana untuk peralatan komputer & telekomunikasinya.
Alternatif lain adalah dengan berlangganan ke WARNET, dengan Rp 5000 / jam! Atau numpang ke komputer teman / tetangga – itu amat sangat jauh lebih murah daripada berlaga kaya seperti di atas.
Selain CDROM, proses diskusi dengan teman, dosen, profesor merupakan bagian penting dalam proses pemandaian seseorang. Diskusi merupakan mekanisme mendasar dalam mentransfer pengetahuan tacit (implisit) yang sangat penting untuk menjiwai, memahami jiwa dari ilmu pengetahuan yang sedang kita pelajari. Proses diskusi tidak memakan biaya banyak, tapi akan banyak memakan waktu. Pernah membayangkan membaca diskusi sebanyak 600 e-mail / hari? Dan di lakukan selama 10 tahun? Itulah yang perlu dilakukan setiap hari bagi seseorang yang ingin menjiwai ilmu-nya secara informal.
Keuntungan lain dengan keaktifan kita dalam berdiskusi, pada akhirnya acknowledgement akan diperoleh dari masyarakat banyak. Tanpa ijazah, tanpa secarik kertas di stempel, masyarakat pada akhirnya akan mengakui kepiawaian seseorang dari cara seseorang tadi menjawab berbagai pertanyaan, berinteraksi, berargumentasi dsb. Pada saat masyarakat mengakui kepiawaian seseorang, pada saat itulah pekerjaan, permintaan, permohonan akan datang pada seseorang tersebut & rizki tidak perlu dikuatirkan lagi. Perlu di catat disini bahwa semua proses mengacu pada hukum adat, konsensus & etika masyarakat, tanpa berbasis pada ijazah, stempel, cap!
Jelas disini biaya yang dibutuhkan bisa ditekan tidak perlu Rp. 50 juta / orang untuk menjadikan seseorang menjadi sarjana. Jika cukup kaya dapat investasi sekitar Rp. 20 juta untuk peralatan komputer & biaya telekomunikasi / internet selama 4 tahun untuk proses pemandaian secara informal. Atau bagi anda yang ingin memperoleh ilmu pengetahuan seorang sarjana secara murah banget dapat ditekan menjadi sekitar Rp. 20.000,- + Rp. 5000 / jam atau meminjam komputer kepunyaan teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.