Senin, 23 April 2012

Inilah Wajah Netter Indonesia


Seperti diduga, separo lebih pengguna internet mengakses dari warung internet (warnet). Kendati kebanyakan netter Indonesia tidak berbelanja, apa salahnya investasi untuk 10 tahun ke depan? 

Umur dunia maya di Indonesia memang belum melewati satu dasawarsa. Istilah cyber pun sepertinya baru belakangan akrab terdengar di kuping para netter. Namun, kesibukan dan bisnis yang berkaitan dengan internet bisa dipastikan kian bertambah.

Coba saja hitung jumlah warnet yang bermunculan bak cendawan di musim hujan. Belum lagi perusahaan-perusahaan dotcom yang tiba-tiba saja menjadi daftar Panjang di tangan kita.  Meski dunia cyber sudah dijelajah habis, ternyata di Indonesia belum ada riset dan data tentang pengguna internet lokal. Padahal, selayaknya pasar di dunia nyata, internet pun telah menjadi peluang yang menggiurkan. Ungkapan seperti investasi lokal, keuntungan global bukan menjadi opini gombal belaka. Memang seperti itulah kenyataannya. Tak heran kalau banyak investor ramai-ramai terjun ke dalam internet berharap bisa mengikuti sukses Bill Gates.

Begitu pula di Indonesia. Kendati daftar perusahaan dotcom sudah panjang, Rupanya masih banyak investor yang ragu-ragu masuk ke pasar dotcom. Penyebabnya, ya itu tadi, belum ada riset dan data pengguna internet lokal. "Selama ini kita tidak tahu bagaimana profil pengguna internet di Indonesia, juga kondisi industri internet di sini,"kata peneliti Pacific Rekan Prima, Ihsanuddin Usman. Ketidakjelasan ini telah membuat para investor menahan langkah untuk berinvestasi. Itu sebabnya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Memprakarsai sebuah survei untuk melukiskan seperti apa wajah pengguna internet Indonesia. Adalah Pacific Rekan Prima dan McKensey&Company yang digandeng untuk melaksanakan survei tersebut. Mereka berharap bisa memotret dengan jelas seperti apa kecenderungan industri dotcom di Indonesia. Tentu saja juga harapan mereka terhadap pelaku bisnis yang meramaikan dunia maya. Karena belum ada angka yang tepat untuk mengambarkan populasi netter Indonesia, metode yang digunakan adalah metode convenience. Sejumlah 1.500 responden yang dilibatkan adalah mereka yang menjelajah dunia maya secara aktif. Usianya beragam, antara 15 tahun hingga 55 tahun. Ada 10 kota yang dilibatkan, kendati porsi terbesar sekitar 20% responden diambil dari Jakarta. Kota-kota lainnya, antara lain Yogyakarta, Balikpapan, Bandung, Makassar, dan Medan.  

Ingin web site porno dikurangi 
Sebagian besar responden (40%) telah menjelajahi dunia maya selama dua tahun lebih. Namun, ada 1% yang baru sebulan berpengalaman surfing. Kurang dari separo netter mengakses internet untuk kepentingan bisnis. Hal tersebut sepertinya menjawab temuan berikutnya bahwa ternyata akses internet terbesar (42%) dilakukan di warnet.

Beda tipis dengan akses internet lewat kantor (41%). Tak heran kalau akses Internet sebagian besar dilakukan pada hari kerja: 74%. Layaknya jam-jam kerja yang sibuk di dunia nyata, mengakses alam cyber pun ada jam sibuknya. Sekitar 33,5% responden menjelajah sekitar pukul 12.00-17.00. Meski toko-toko dotcom seperti berkibar-kibar, ternyata ada 12,6% responden yang belum tahu bahwa dia bisa melakukan transaksi lewat internet. Lagi pula, hanya 16,6% dari seluruh responden yang pernah melakukan transaksi online. Alasan mengapa para netter ini tidak melakukan transaksi, karena mereka tidak yakin dengan kualitas barang yang ditawarkan, takut kartu kreditnya disalahgunakan, dan sebagian lagi memang tidak memiliki kartu kredit. Sebagian besar responden (79%) ternyata tidak berlangganan jasa lewat Internet Service Provider (ISP), tapi 77% menjawab bahwa suatu saat mereka berminat berlangganan sendiri.

Yang cukup melegakan, para responden sepakat bahwa dunia maya adalah gudang informasi yang tidak terbatas, termasuk peluang dan informasi bisnis. Di masa mendatang, para netter Indonesia ingin supaya keamanan dan perlindungan terhadap pribadi-pribadi penjelajah internet bisa ditingkatkan. Mereka juga minta supaya situs porno dikurangi saja, dan informasi yang mendidik dan penghormatan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) harus ditambah. Selain itu, tentu saja, mereka menginginkan agar beban biaya akses dan pulsa diturunkan. Selain menyurvei, para periset ini juga menjaring pendapat dari diskusi para Pengusaha dotcom dan praktisi, misalnya kalangan perbankan yang online. Mereka berpendapat bahwa netter tidak pernah melihat iklan online, terutama iklan yang tidak atraktif. Banner juga dinilai terlalu mengobral kata dan produk iklan tidak disesuaikan dengan pengunjung situs bersangkutan. Ini semua membuat penetrasi iklan online di Indonesia sangat lambat. 

Nah, temuan soal iklan dotcom yang kurang peminat ini ditanggapi dingin oleh Klikduit.com. "Pengiklan harus kreatif," ujar Wibowo Gunawan, CEO Klikduit.com. Misalnya dengan cara membayar siapa pun yang mengklik iklan, seperti yang dilakukan Klikduit. Maklum, iklan online punya kelebihan gambarnya bisa interaktif dan dihargai bukan dari ongkos cetak tapi jumlah orang yang mengklik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.