Dunia cyber merupakan sebuah dunia yang berbasis wahana 3C (computer communication & content) yang memungkinkan transaksi informasi, pengetahuan, uang terjadi dalam orde detik dan menit. Kecepatan transportasi informasi, pengetahuan dan uang yang demikian cepat akhirnya akan membuka penghalang / barrier yang selama ini menjadi momok di dunia nyata seperti keterbatasan dimensi ruang, dimensi waktu, dimensi birokrasi, dimensi institusi, dimensi negara. Berbagai paradigma lama yang berbasis wahana konvensional jadi perlu dipertanyakan bahkan mungkin perlu di revisi.
Dunia Cyber - berbeda dengan dunia nyata yang banyak di bangun menggunakan batu dan semen bertumpu pada sistem transportasi digerakan minyak bumi dan dilengkapi pranata birokrasi yang mengatur operasi di atasnya; maka dunia cyber dibangun di atas wahana 3C (computer, communication & content) biasanya mempunyai konotasi yang lebih fleksibel daripada saudaranya di dunia nyata. Dunia Cyber sangat di karakterisasikan dengan kebebasan - sebagai hak azasi manusia yang paling mendasar. Kebebasan mendominasi dunia cyber dan tampak jelas dalam bentuk badan dunia di dunia cyber, seperti, self-regulation ICANN (badan tertinggi di dunia cyber yang menatur domain dan alamat IP), badan independen IETF (satuan tugas rekayasa Internet), ISOC (masyarakat Internet) – semua lembaga tertinggi tersebut tidak terikat dalam struktur kenegaraan, struktur pemerintahan merupakan masyarakat sendiri di dunia ini yang lebih demokratis, bebas, kebebasan akan pengetahuan, penggunaan copyleft, public domain. Demokrasi di junjung tinggi dalam berbagai keputusan berbasis pada konsensus masyarakat. Diskusi hingga perdebatan sengit bisa mewarnai proses interaksi menuju demokratisasi. Itu lah dunia cyber yang telah berjalan dengan cara-nya selama lebih dari lima belas tahun belakangan ini. Saya sendiri baru terlibat dalam dunia cyber ini sejak tahun 1987.
Mari kita kembali membahas cybercity - bagaimana dengan mengikat sebuah konsep cyber, yang mempunyai konotasi kebebasan, kemudian diikat dalam sebuah dimensi fisik seperti cybercity, Bandung High Tech Valley? konsep cyber yang dibatasi ruang ya boleh-boleh saja untuk dicanangkan. PM Mahatir mencanangkan Multimedia Super Corridor (MSC) yang dibangun dalam kawasan terbatas di cyberjaya masih dianggap sah. Namanya juga kebebasan - di dunia cyber apa saja sah. Akhirnya nama hanya sekedar pengenal sebuah konsep, tapi perlu kita renungkan bahwa pada akhirnya yang penting adalah keberhasilan sebuah konsep yang akan di nilai langsung oleh masyarakat.
Pertanyaannya bagaimana tingkat keberhasilan sebuah konsep cyber yang dibatasi dimensi ruangan yang terbatas dapat survive? Terus terang yang saya & banyak rekan-rekan takutkan adalah cybercity, cyberjaya, BHTV hanya menambah utang negara maupun menyia-nyiakan investasi swasta saja. Apalagi ada kecenderungan yang kuat pola pembangunan cybercity, BHTV lebih ke hal-hal yang sifatnya pembangunan fisik dan materialized. Terus terang jika pendekatan ini yang lebih bersifat fisik terus dipertahanan, saya yakin sekali kita hanya akan menambah utang negara saja di samping pemborosan infrastruktur.
Saya pribadi terus terang hanya percaya bahwa keberhasilan / kesuksesan pembangunan dunia cyber (baik yang dibatasi dimensi ruang maupun yang tidak) hanya akan terjadi jika kita berhasil membangun oleh masyarakat & komunitas di dalamnya - istilah kerennya knowledge based society. Pengalaman menunjukan bahwa infrastruktur 3C (computer, communication & content) maupun bangunan hanya akan menjadi bagian terkecil dari seluruh komponen pembangun dunia cyber, nilai tambah terbesar terjadi di bidang content yang dibuat oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Keberadaan cybercommunity yang merupakan knowledge based society adalah kunci utama dalam pembangunan semua jenis dunia cyber - termasuk tentunya dunia cyber yang dibatasi oleh dimensi ruang seperti cybercity.
Membangun cybercommunity berbasis knowledge based society justru yang akan memakan biaya yang jauh lebih besar daripada memasang kabel fiber, instalasi LAN, membuat bangunan. Membangun SDM yang berkualitas membutuhkan waktu yang jauh lebih lama daripada membangun infrastruktur fisik, pengalaman saya di ITB dulu hanya 5% dari mahasiswa ITB yang mempunyai kemampuan untuk menjadi knowledgeable leader di dunia cyber, sisanya hanya menjadi pekerja di dunia cyber. Itupun membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya sekitar 3-4 tahun, sampai bisa memimpin dan menjadi panutan bagi orang sekitarnya. Agar tingkat keberhasilan pembentukan SDM yang tinggi, pendidikan harus disajikan dengan pola yang baik, karena kreatifitas yang akan menjadikan SDM tersebut kompetitif - sayangnya kreatifitas banyak di belengku bahkan cenderung di matikan oleh pola pendidikan di Indonesia yang lebih suka pada hal-hal yang sifatnya mendikte, menghafal bukan pada kreatifitas. Sebetulnya pola pendidikan terbaik yang saya lihat adalah pola belajar sambil bermain, seseorang tidak di pola dan di paksa untuk mendalami sesuatu akan tetapi mendalami hal-hal yang dia sukai karena memang suka. Sayang pola itu sulit sekali di Indonesia, para mahasiswa dan para siswa lebih suka di cekokin, di cocok hidung-nya - coba tanya ke mereka apa yang mereka sukai, sering kali mereka bingung apa yang mereka sukai. Bahkan untuk tugas akhir-pun sering kali mereka menanyakan topik-nya ke pembimbing tugas akhir. Dedikasi dan pola komunitas sebaiknya digunakan untuk membentuk SDM berkualitas, sayangnya pola pendidikan formal yang di anut di banyak lembaga pendidikan melupakan pendekatan komunitas, belajar sambil bermain, kegiatan informal yang akhirnya gagal mencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan - yang berhasil hanya mencetak teknisi.Ada baiknya pembaca membaca tulisan saya "pendekatan komunitas dalam membangun industri" ada di detik.com yang menceritakan pengalaman pribadi saya bersama rekan-rekan di computer network research group (CNRG) ITB dalam membangun industri IT.
Kembali ke topik cybercity - melihat kenyataan sebuah dunia cyber dibangun oleh cybercommunity berbasis knowledge based society, mari kita menganalisa keberhasilan sebuah cybercity - mampukah untuk survive? atau hanya menjadi pembangunan fisik mercusuar saja? yang akan menambah utang negara saja. Perasaan saya mengatakan cybercity kemayoran awalnya kemungkinan besar berfikir menggunakan pola / konsep yang digunakan oleh Mahatir di MSC cyberjaya. Pola pembangunan fisik, dengan fasilitas multimedia yang bertumpu pada infrastruktur serat optik menjadi ciri utamanya. Bandwidth yang lebar memungkinkan content video berkualitas tinggi untuk di transmisikan dalam kawasan terbatas tersebut.
Secara infrastruktur wahana 3C memang sudah beres semua. Sekedar infrastruktur 3C dunia cyber tidak akan menarik, nah masalahnya, membuat content yang berkualitas dalam format video, audio, text, html, jpg, mpeg, mp3, software belum lagi isi materinya yang mencerminkan tingkat intektualitas pembuatnya bukan pekerjaan yang mudah dan dibutuhkan ratusan man-month dari ribuan kalau tidak ratusan ribu orang yang terlibat dalam kerjasama team yang baik. Tidak mungkin kita hanya mengandalkan content yang kita beli dari luar saja, tentunya hanya akan menghabiskan devisa negara saja. Jadi perlu strategi lain supaya bisa menjamin wahana 3C yang dibangun tidak hanya digunakan untuk mengkonsumsi informasi tapi juga untuk memproduksi informasi dan pengetahuan.
Dari penjelasan sejauh ini tampak sekali bahwa sebuah cybercity hanya akan survive jika di dorong oleh cybercommunity di dalamnya. SDM dan pendidikan merupakan hal utama yang menjadi keberhasilan sebuah cybercity. Tanpa SDM berkualitas jangan terlalu berharap sebuah cybercity dan BHTV bisa berhasil. Ada baiknya dipikirkan untuk mengkaitkan cybercity dengan berbagai cyberkampus di Indonesia yang sudah sangat maju, seperti ITB, UI, jaringan pendidikan AI3 Indonesia. ITB barangkali saat ini merupakan satu-satunnya kampus di Indonesia yang memiliki infrastruktur fiber berkecepatan 30+ Gbps yang memungkinkan suasana internet2 berjalan dengan baik. Suasana kreatifitas dan kebebasan menjadi ciri khas-nya ... jadi suasananya seperti sanggar seni begitu'lah - saya rasa bukan hanya seniman saja yang mendambakan kebebasan, teknolog IT juga sangat mendambakan kebebasan dan berkreasi, tidak rigid dibelenggu oleh aturan dan birokrasi. Jelas bahwa integrasi dengan dunia pendidikan dan orang-orang berpendidikan tinggi akan menjadi kunci utamanya agar kawasan terbatas cyber tersebut mampu untuk menghasilkan content yang dapat membuat saturasi infrastruktur. Tentunya ada pola-pola lain yang perlu diperhatikan untuk mengumpulkan pada seniman IT ini, biasanya sarat dengan pola finansial seperti modal ventura dan proses inkubasi.
Mungkin sebagian dari sistem cybercity sudah mulai berfungsi pada saat para seniman IT ini mulai beraksi, akan tetapi perlu diingat bahwa kita memposisikan cybercity sebagai pusat pembuatan / pembangkitan content - dimana-mana yang namanya pembangkit harus dihubungkan pada jaringan distribusi untuk mencapai konsumen. Disini ceritanya akan seru, bayangkan pembangkit kita yang mungkin berjalan diatas pipa fiber optik yang sangat cepat misalnya 2.4Gbps, padahal kita tahu kondisi konsumen kita hanya 33.6Kbps kebanyakan itupun seret bayar pulsa-nya. Terjadilah mismatch bandwidth yang sangat lebar antara si pembangkit dengan konsumen-nya yang akan menyebabkan tidak semua konsep yang berjalan dengan lancar disisi pembangkit akan berjalan dengan baik disisi konsumen. Masalah ini sebetulnya memang bukan masalah cybercity, akan tetapi lebih kepada masalah dioperator telekomunikasi yang ada - sayangnya masalah eksternal ini akan mempengaruhi kinerja keseluruhan cybercity.
Tentunya saya berharap pada saat cybercity beroperasi, pemerintah waktu itu sudah melek IT bahkan sudah IT minded - e-government sudah jalan, cyberlaw sudah ditanam, jumlah masyarakat berpendidikan tinggi sudah 60% dari total populasi bangsa, akses masyarakat ke informasi dan pengetahuan sudah sangat mudah dan murah. Cybercity hanya akan survive jika mampu mempengaruhi / memberikan hasilnya kepada lingkungan sekitarnya - sukur-sukur ke seluruh penjuru indonsia bahkan penjuru dunia. Tanpa kemampuan beramal & ibadah ke khalayak banyak secara effisien, tampaknya akan sulit bagi cybercity untuk survive.
Dunia Cyber - berbeda dengan dunia nyata yang banyak di bangun menggunakan batu dan semen bertumpu pada sistem transportasi digerakan minyak bumi dan dilengkapi pranata birokrasi yang mengatur operasi di atasnya; maka dunia cyber dibangun di atas wahana 3C (computer, communication & content) biasanya mempunyai konotasi yang lebih fleksibel daripada saudaranya di dunia nyata. Dunia Cyber sangat di karakterisasikan dengan kebebasan - sebagai hak azasi manusia yang paling mendasar. Kebebasan mendominasi dunia cyber dan tampak jelas dalam bentuk badan dunia di dunia cyber, seperti, self-regulation ICANN (badan tertinggi di dunia cyber yang menatur domain dan alamat IP), badan independen IETF (satuan tugas rekayasa Internet), ISOC (masyarakat Internet) – semua lembaga tertinggi tersebut tidak terikat dalam struktur kenegaraan, struktur pemerintahan merupakan masyarakat sendiri di dunia ini yang lebih demokratis, bebas, kebebasan akan pengetahuan, penggunaan copyleft, public domain. Demokrasi di junjung tinggi dalam berbagai keputusan berbasis pada konsensus masyarakat. Diskusi hingga perdebatan sengit bisa mewarnai proses interaksi menuju demokratisasi. Itu lah dunia cyber yang telah berjalan dengan cara-nya selama lebih dari lima belas tahun belakangan ini. Saya sendiri baru terlibat dalam dunia cyber ini sejak tahun 1987.
Mari kita kembali membahas cybercity - bagaimana dengan mengikat sebuah konsep cyber, yang mempunyai konotasi kebebasan, kemudian diikat dalam sebuah dimensi fisik seperti cybercity, Bandung High Tech Valley? konsep cyber yang dibatasi ruang ya boleh-boleh saja untuk dicanangkan. PM Mahatir mencanangkan Multimedia Super Corridor (MSC) yang dibangun dalam kawasan terbatas di cyberjaya masih dianggap sah. Namanya juga kebebasan - di dunia cyber apa saja sah. Akhirnya nama hanya sekedar pengenal sebuah konsep, tapi perlu kita renungkan bahwa pada akhirnya yang penting adalah keberhasilan sebuah konsep yang akan di nilai langsung oleh masyarakat.
Pertanyaannya bagaimana tingkat keberhasilan sebuah konsep cyber yang dibatasi dimensi ruangan yang terbatas dapat survive? Terus terang yang saya & banyak rekan-rekan takutkan adalah cybercity, cyberjaya, BHTV hanya menambah utang negara maupun menyia-nyiakan investasi swasta saja. Apalagi ada kecenderungan yang kuat pola pembangunan cybercity, BHTV lebih ke hal-hal yang sifatnya pembangunan fisik dan materialized. Terus terang jika pendekatan ini yang lebih bersifat fisik terus dipertahanan, saya yakin sekali kita hanya akan menambah utang negara saja di samping pemborosan infrastruktur.
Saya pribadi terus terang hanya percaya bahwa keberhasilan / kesuksesan pembangunan dunia cyber (baik yang dibatasi dimensi ruang maupun yang tidak) hanya akan terjadi jika kita berhasil membangun oleh masyarakat & komunitas di dalamnya - istilah kerennya knowledge based society. Pengalaman menunjukan bahwa infrastruktur 3C (computer, communication & content) maupun bangunan hanya akan menjadi bagian terkecil dari seluruh komponen pembangun dunia cyber, nilai tambah terbesar terjadi di bidang content yang dibuat oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Keberadaan cybercommunity yang merupakan knowledge based society adalah kunci utama dalam pembangunan semua jenis dunia cyber - termasuk tentunya dunia cyber yang dibatasi oleh dimensi ruang seperti cybercity.
Membangun cybercommunity berbasis knowledge based society justru yang akan memakan biaya yang jauh lebih besar daripada memasang kabel fiber, instalasi LAN, membuat bangunan. Membangun SDM yang berkualitas membutuhkan waktu yang jauh lebih lama daripada membangun infrastruktur fisik, pengalaman saya di ITB dulu hanya 5% dari mahasiswa ITB yang mempunyai kemampuan untuk menjadi knowledgeable leader di dunia cyber, sisanya hanya menjadi pekerja di dunia cyber. Itupun membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya sekitar 3-4 tahun, sampai bisa memimpin dan menjadi panutan bagi orang sekitarnya. Agar tingkat keberhasilan pembentukan SDM yang tinggi, pendidikan harus disajikan dengan pola yang baik, karena kreatifitas yang akan menjadikan SDM tersebut kompetitif - sayangnya kreatifitas banyak di belengku bahkan cenderung di matikan oleh pola pendidikan di Indonesia yang lebih suka pada hal-hal yang sifatnya mendikte, menghafal bukan pada kreatifitas. Sebetulnya pola pendidikan terbaik yang saya lihat adalah pola belajar sambil bermain, seseorang tidak di pola dan di paksa untuk mendalami sesuatu akan tetapi mendalami hal-hal yang dia sukai karena memang suka. Sayang pola itu sulit sekali di Indonesia, para mahasiswa dan para siswa lebih suka di cekokin, di cocok hidung-nya - coba tanya ke mereka apa yang mereka sukai, sering kali mereka bingung apa yang mereka sukai. Bahkan untuk tugas akhir-pun sering kali mereka menanyakan topik-nya ke pembimbing tugas akhir. Dedikasi dan pola komunitas sebaiknya digunakan untuk membentuk SDM berkualitas, sayangnya pola pendidikan formal yang di anut di banyak lembaga pendidikan melupakan pendekatan komunitas, belajar sambil bermain, kegiatan informal yang akhirnya gagal mencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan - yang berhasil hanya mencetak teknisi.Ada baiknya pembaca membaca tulisan saya "pendekatan komunitas dalam membangun industri" ada di detik.com yang menceritakan pengalaman pribadi saya bersama rekan-rekan di computer network research group (CNRG) ITB dalam membangun industri IT.
Kembali ke topik cybercity - melihat kenyataan sebuah dunia cyber dibangun oleh cybercommunity berbasis knowledge based society, mari kita menganalisa keberhasilan sebuah cybercity - mampukah untuk survive? atau hanya menjadi pembangunan fisik mercusuar saja? yang akan menambah utang negara saja. Perasaan saya mengatakan cybercity kemayoran awalnya kemungkinan besar berfikir menggunakan pola / konsep yang digunakan oleh Mahatir di MSC cyberjaya. Pola pembangunan fisik, dengan fasilitas multimedia yang bertumpu pada infrastruktur serat optik menjadi ciri utamanya. Bandwidth yang lebar memungkinkan content video berkualitas tinggi untuk di transmisikan dalam kawasan terbatas tersebut.
Secara infrastruktur wahana 3C memang sudah beres semua. Sekedar infrastruktur 3C dunia cyber tidak akan menarik, nah masalahnya, membuat content yang berkualitas dalam format video, audio, text, html, jpg, mpeg, mp3, software belum lagi isi materinya yang mencerminkan tingkat intektualitas pembuatnya bukan pekerjaan yang mudah dan dibutuhkan ratusan man-month dari ribuan kalau tidak ratusan ribu orang yang terlibat dalam kerjasama team yang baik. Tidak mungkin kita hanya mengandalkan content yang kita beli dari luar saja, tentunya hanya akan menghabiskan devisa negara saja. Jadi perlu strategi lain supaya bisa menjamin wahana 3C yang dibangun tidak hanya digunakan untuk mengkonsumsi informasi tapi juga untuk memproduksi informasi dan pengetahuan.
Dari penjelasan sejauh ini tampak sekali bahwa sebuah cybercity hanya akan survive jika di dorong oleh cybercommunity di dalamnya. SDM dan pendidikan merupakan hal utama yang menjadi keberhasilan sebuah cybercity. Tanpa SDM berkualitas jangan terlalu berharap sebuah cybercity dan BHTV bisa berhasil. Ada baiknya dipikirkan untuk mengkaitkan cybercity dengan berbagai cyberkampus di Indonesia yang sudah sangat maju, seperti ITB, UI, jaringan pendidikan AI3 Indonesia. ITB barangkali saat ini merupakan satu-satunnya kampus di Indonesia yang memiliki infrastruktur fiber berkecepatan 30+ Gbps yang memungkinkan suasana internet2 berjalan dengan baik. Suasana kreatifitas dan kebebasan menjadi ciri khas-nya ... jadi suasananya seperti sanggar seni begitu'lah - saya rasa bukan hanya seniman saja yang mendambakan kebebasan, teknolog IT juga sangat mendambakan kebebasan dan berkreasi, tidak rigid dibelenggu oleh aturan dan birokrasi. Jelas bahwa integrasi dengan dunia pendidikan dan orang-orang berpendidikan tinggi akan menjadi kunci utamanya agar kawasan terbatas cyber tersebut mampu untuk menghasilkan content yang dapat membuat saturasi infrastruktur. Tentunya ada pola-pola lain yang perlu diperhatikan untuk mengumpulkan pada seniman IT ini, biasanya sarat dengan pola finansial seperti modal ventura dan proses inkubasi.
Mungkin sebagian dari sistem cybercity sudah mulai berfungsi pada saat para seniman IT ini mulai beraksi, akan tetapi perlu diingat bahwa kita memposisikan cybercity sebagai pusat pembuatan / pembangkitan content - dimana-mana yang namanya pembangkit harus dihubungkan pada jaringan distribusi untuk mencapai konsumen. Disini ceritanya akan seru, bayangkan pembangkit kita yang mungkin berjalan diatas pipa fiber optik yang sangat cepat misalnya 2.4Gbps, padahal kita tahu kondisi konsumen kita hanya 33.6Kbps kebanyakan itupun seret bayar pulsa-nya. Terjadilah mismatch bandwidth yang sangat lebar antara si pembangkit dengan konsumen-nya yang akan menyebabkan tidak semua konsep yang berjalan dengan lancar disisi pembangkit akan berjalan dengan baik disisi konsumen. Masalah ini sebetulnya memang bukan masalah cybercity, akan tetapi lebih kepada masalah dioperator telekomunikasi yang ada - sayangnya masalah eksternal ini akan mempengaruhi kinerja keseluruhan cybercity.
Tentunya saya berharap pada saat cybercity beroperasi, pemerintah waktu itu sudah melek IT bahkan sudah IT minded - e-government sudah jalan, cyberlaw sudah ditanam, jumlah masyarakat berpendidikan tinggi sudah 60% dari total populasi bangsa, akses masyarakat ke informasi dan pengetahuan sudah sangat mudah dan murah. Cybercity hanya akan survive jika mampu mempengaruhi / memberikan hasilnya kepada lingkungan sekitarnya - sukur-sukur ke seluruh penjuru indonsia bahkan penjuru dunia. Tanpa kemampuan beramal & ibadah ke khalayak banyak secara effisien, tampaknya akan sulit bagi cybercity untuk survive.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.