Sun Tzu seorang pemikir Cina ribuan tahun yang lalu dalam bukunya The Art of War menulis, ". . . attaining one hundred victories in one hundred battles is not the pinnacle of excellence. Subjugating the enemy's army without fighting is the true pinnacle of excellence." Dalam bahasa sederhana bisa diartikan, tidak ada yang istimewa dalam memenangkan ratusan pertempuran di ratusan medan perang. Tetapi - mengalahkan musuh tanpa melepaskan peluru & bersimbah darah – itu baru istimewa! Hanya segelintir manusia yang mampu melakukan hal ini dengan baik di seluruh dunia.
Dalam teknik pertempuran konvensional misalnya di TNI maupun gerilyawan Taliban, bertumpu pada kemampuan manuver pasukan, serbu (serang / strike), proteksi (bertahan) di dukung oleh logistik. Pertempuran sangat bersifat fisik. Kegagalan dapat berkonsekuensi kematian & kehancuran.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, lini pertempuran akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membuat image yang tertanam di kawasan lawan & melemahkan posisi lawan. Teknik ini sering dikenal sebagai information imperalism dalam strategi perang informasi. Ingat proses kekalahan Indonesia di Timor Lorosae? Xanana yang dulu mendekam di penjara Indonesia, sekarang menjadi presiden di Timor Timur – hmm itu sangat memalukan sebetulnya dari sisi strategi keseluruhan Indonesia. Sebelum pertempuran fisik yang sesungguhnya, dalam waktu yang cukup lama kita di bombardir informasi yang pada dasarnya membuat image bahwa Indonesia adalah tidak lebih daripada penjajah di Timor Lorosae. Teknik counter-will dalam perang informasi banyak dimainkan secara cantik oleh pihak barat melalui berbagai media massa (CNN dll), termasuk berbagai mailing list Internet yang menyebar secara sangat effisien ke semua orang yang bisa akses informasi. Habibie salah perhitungan & berani melakukan jajak pendapat bagi rakyat Timor Lorosae.
Hal yang sama dengan Timor Lorosae akan dengan mudah terjadi di banyak tempat di Indonesia, di Aceh, Papua, Ambon & Kalimantan. Secara internasional isu besar seperti Oshama bin Laden, Taliban, Iraq dll hanya mungkin di menangkan jika pihak tertekan dapat bermain secara cantik di dunia informasi & bermain dengan image.
Sialnya pihak Amerika & negara barat pandai sekali memainkan strateginya di bidang perang informasi. Perang informasi yang mereka lakukan lebih bersifat psychological warfare (perang psychologi). Yang dapat berlangsung beberapa tahun sebelum perang fisik dilakukan (itupun jika dibutuhkan), jika ternyata musuh dapat di taklukan tanpa perlu melakukan perang fisik ya tidak perlu lah perang fisik dilakukan. Apalagi banyak negara barat berada di belakang Timor Lorosae & membuat image “takut” pada negara Indonesia untuk jangan melawan & macem-macem. Teknik ini di kenal sebagai counterforces di strategi / teknik perang informasi. Contoh real yang ada di depan mata adalah kasus Timor Lorosae, tidak banyak perang fisik yang terjadi pada saat pengambil alihan Timor Lorosae oleh pihak barat dengan bendera PBB. Belum lagi dalam kasus Taliban, hanya dengan media & opini, Oshama bin Laden menjadi orang paling bersalah tanpa ada keputusan pengadilan internasional memutuskan dia bersalah
Lini perang informasi ternyata sangat lebar sekali, intinya hanya mereka yang mampu memproduksi informasi & pengetahuan dalam jumlah besar di segala media / lini yang akan dengan mudah mengalahkan pihak lawan. Pendudukan / penjajahan / serangan tidak lagi secara fisik tetapi secara psychologi / pola pandang / mental. Contoh sederhana saja, anak-anak Indonesia akan dengan bangga-nya makan di McDonnald, KFC atau mendengarkan musik rock, ke disko di bandingkan dengan jaipongan. ABG & banyak orang akan dengan senang hati menonton The Corrs & mungkin membayar lebih mahal daripada Krisdayanti & Ikke Nurjanah. Perlakukan para Satpam terhadap orang bule yang berpakaian celana pendek, T-shirt kucel, sandal jepit akan sangat berbeda sekali dengan orang pribumi melayu dengan pakaian yang sama. Paling menyebalkan kalau kita ke kedutaan Amerika Serikat, Satpam US Embassy ini sepertinya lebih bule daripada bule & benar-benar melecehkan orang Indonesia yang mau meminta Visa US padahal harus bayar mahal pula. Dari pola sederhana ini saja sudah terlihat sekali bahwa sebuah image sudah tertanam baik-baik di benak orang melayu ini bahwa pribumi melayu inferior dibandingkan bule. Mereka yang bekerja untuk bule (seperti Satpam di US Embassy) merasa jauh lebih superior daripada melayu yang lain. Kondisi / teknik ini di kenal sebagai Kulturkampf dalam perang informasi.
Pada tingkat yang lebih tinggi & perlu pengusaan seni perang informasi yang sangat halus dapat di cuplik dari surat James Madison ke W.T. Barry tanggal 4 Agustus 1822 yang berbunyi "A popular Government, without popular information or the means of acquiring it, is but a Prologue to a Farce or a Tragedy; or perhaps both. Knowledge will forever govern ignorance; And a people who mean to be their own Governors, must arm themselves with the power which knowledge gives." Artinya pengetahuan & penyebaran informasi menjadi penting sekali bagi seseorang maupun pemerintah untuk survive, menang & tetap berada di atas serta populer diantara yang di perintah-nya (bisa PNS maupun rakyat). Kedewasaan, kelengkapan dalam berargumentasi, berdebat & transparansi dalam kebijakan akan sangat tercermin dari tingkat penguasaan pengetahuan manusia yang berada di lembaga pemerintahan. Sialnya di Indonesia pemerintah lebih banyak mengandalkan mekanisme kekuasaan, perijinan, palak memalak, sogok menyodok, gusur mengusur daripada bertumpu pada kemampuan pengetahuan SDM-nya. Yah wajar saja jika pemerintah kita menjadi tidak populer.
Kunci keberhasilan dalam melakukan manouver & perang informasi sebetulnya tidak banyak. Keberadaan massa sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi pengetahuan & menyebarkannya di masyarakat melalui berbagai channel yang dapat mereka akses akan menjadi kunci utamanya. Strategi di dunia pendidikan untuk memperoleh massa SDM berkualitas menjadi sangat critical sekali dalam keberhasilan perang informasi. Tentunya keberadaan sebanyak mungkin channel untuk menyebarkan informasi menjadi telak. Dengan keadaan Indonesia saat ini, konsep media lokal, community broadcasting, community media yang sifatnya swadaya masyarakat menjadi penting artinya untuk ketahanan nasional secara keseluruhan.
Proses ketahanan nasional tidak lagi bertumpu pada aparat fisik berbasis ideologi nasional seperti jaman Suharto dengan BP7 & P4 dulu; tetapi bergeser pada keberadaan massa SDM berkualitas yang di fasilitasi oleh platform media informasi untuk melakukan manouver informasi & pengetahuan secara cepat.
Dalam teknik pertempuran konvensional misalnya di TNI maupun gerilyawan Taliban, bertumpu pada kemampuan manuver pasukan, serbu (serang / strike), proteksi (bertahan) di dukung oleh logistik. Pertempuran sangat bersifat fisik. Kegagalan dapat berkonsekuensi kematian & kehancuran.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, lini pertempuran akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membuat image yang tertanam di kawasan lawan & melemahkan posisi lawan. Teknik ini sering dikenal sebagai information imperalism dalam strategi perang informasi. Ingat proses kekalahan Indonesia di Timor Lorosae? Xanana yang dulu mendekam di penjara Indonesia, sekarang menjadi presiden di Timor Timur – hmm itu sangat memalukan sebetulnya dari sisi strategi keseluruhan Indonesia. Sebelum pertempuran fisik yang sesungguhnya, dalam waktu yang cukup lama kita di bombardir informasi yang pada dasarnya membuat image bahwa Indonesia adalah tidak lebih daripada penjajah di Timor Lorosae. Teknik counter-will dalam perang informasi banyak dimainkan secara cantik oleh pihak barat melalui berbagai media massa (CNN dll), termasuk berbagai mailing list Internet yang menyebar secara sangat effisien ke semua orang yang bisa akses informasi. Habibie salah perhitungan & berani melakukan jajak pendapat bagi rakyat Timor Lorosae.
Hal yang sama dengan Timor Lorosae akan dengan mudah terjadi di banyak tempat di Indonesia, di Aceh, Papua, Ambon & Kalimantan. Secara internasional isu besar seperti Oshama bin Laden, Taliban, Iraq dll hanya mungkin di menangkan jika pihak tertekan dapat bermain secara cantik di dunia informasi & bermain dengan image.
Sialnya pihak Amerika & negara barat pandai sekali memainkan strateginya di bidang perang informasi. Perang informasi yang mereka lakukan lebih bersifat psychological warfare (perang psychologi). Yang dapat berlangsung beberapa tahun sebelum perang fisik dilakukan (itupun jika dibutuhkan), jika ternyata musuh dapat di taklukan tanpa perlu melakukan perang fisik ya tidak perlu lah perang fisik dilakukan. Apalagi banyak negara barat berada di belakang Timor Lorosae & membuat image “takut” pada negara Indonesia untuk jangan melawan & macem-macem. Teknik ini di kenal sebagai counterforces di strategi / teknik perang informasi. Contoh real yang ada di depan mata adalah kasus Timor Lorosae, tidak banyak perang fisik yang terjadi pada saat pengambil alihan Timor Lorosae oleh pihak barat dengan bendera PBB. Belum lagi dalam kasus Taliban, hanya dengan media & opini, Oshama bin Laden menjadi orang paling bersalah tanpa ada keputusan pengadilan internasional memutuskan dia bersalah
Lini perang informasi ternyata sangat lebar sekali, intinya hanya mereka yang mampu memproduksi informasi & pengetahuan dalam jumlah besar di segala media / lini yang akan dengan mudah mengalahkan pihak lawan. Pendudukan / penjajahan / serangan tidak lagi secara fisik tetapi secara psychologi / pola pandang / mental. Contoh sederhana saja, anak-anak Indonesia akan dengan bangga-nya makan di McDonnald, KFC atau mendengarkan musik rock, ke disko di bandingkan dengan jaipongan. ABG & banyak orang akan dengan senang hati menonton The Corrs & mungkin membayar lebih mahal daripada Krisdayanti & Ikke Nurjanah. Perlakukan para Satpam terhadap orang bule yang berpakaian celana pendek, T-shirt kucel, sandal jepit akan sangat berbeda sekali dengan orang pribumi melayu dengan pakaian yang sama. Paling menyebalkan kalau kita ke kedutaan Amerika Serikat, Satpam US Embassy ini sepertinya lebih bule daripada bule & benar-benar melecehkan orang Indonesia yang mau meminta Visa US padahal harus bayar mahal pula. Dari pola sederhana ini saja sudah terlihat sekali bahwa sebuah image sudah tertanam baik-baik di benak orang melayu ini bahwa pribumi melayu inferior dibandingkan bule. Mereka yang bekerja untuk bule (seperti Satpam di US Embassy) merasa jauh lebih superior daripada melayu yang lain. Kondisi / teknik ini di kenal sebagai Kulturkampf dalam perang informasi.
Pada tingkat yang lebih tinggi & perlu pengusaan seni perang informasi yang sangat halus dapat di cuplik dari surat James Madison ke W.T. Barry tanggal 4 Agustus 1822 yang berbunyi "A popular Government, without popular information or the means of acquiring it, is but a Prologue to a Farce or a Tragedy; or perhaps both. Knowledge will forever govern ignorance; And a people who mean to be their own Governors, must arm themselves with the power which knowledge gives." Artinya pengetahuan & penyebaran informasi menjadi penting sekali bagi seseorang maupun pemerintah untuk survive, menang & tetap berada di atas serta populer diantara yang di perintah-nya (bisa PNS maupun rakyat). Kedewasaan, kelengkapan dalam berargumentasi, berdebat & transparansi dalam kebijakan akan sangat tercermin dari tingkat penguasaan pengetahuan manusia yang berada di lembaga pemerintahan. Sialnya di Indonesia pemerintah lebih banyak mengandalkan mekanisme kekuasaan, perijinan, palak memalak, sogok menyodok, gusur mengusur daripada bertumpu pada kemampuan pengetahuan SDM-nya. Yah wajar saja jika pemerintah kita menjadi tidak populer.
Kunci keberhasilan dalam melakukan manouver & perang informasi sebetulnya tidak banyak. Keberadaan massa sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi pengetahuan & menyebarkannya di masyarakat melalui berbagai channel yang dapat mereka akses akan menjadi kunci utamanya. Strategi di dunia pendidikan untuk memperoleh massa SDM berkualitas menjadi sangat critical sekali dalam keberhasilan perang informasi. Tentunya keberadaan sebanyak mungkin channel untuk menyebarkan informasi menjadi telak. Dengan keadaan Indonesia saat ini, konsep media lokal, community broadcasting, community media yang sifatnya swadaya masyarakat menjadi penting artinya untuk ketahanan nasional secara keseluruhan.
Proses ketahanan nasional tidak lagi bertumpu pada aparat fisik berbasis ideologi nasional seperti jaman Suharto dengan BP7 & P4 dulu; tetapi bergeser pada keberadaan massa SDM berkualitas yang di fasilitasi oleh platform media informasi untuk melakukan manouver informasi & pengetahuan secara cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.