Entrepreneur adalah sebuah perilaku. Di network marketing perilaku itu diajarkan, bahkan dianjurkan menconteknya dari para leader yang secara empiris telah teruji. Bahkan, peluangnya begitu terbuka, diberikan kepada siapa saja. Jadi, tidak njelimet .
DETIK INI JUGA ANDA BISA JADI JUTAWAN !
Cobalah cari, profesi apa yang paling demokratis, paling jauh dari diskriminasi?
Telunjuk kita bakal mengarah pada network marketing. Sebab, bila detik ini juga Anda ingin jadi networker – sebutan bagi pelaku bisnis network marketing, detik ini juga Anda bakal menyandang profesi itu. Anda tidak bakal ditanya modal yang dikucurkan, tidak ditanya gelar sarjana yang disandang, tidak ditanya asal usul keluarga, tidak ditanya skill (kemampuan) yang dimiliki dan sebagainya.
Tapi, bandingkanlah dengan profesi dokter, misalnya. So pasti, Anda mesti kuliah bertahun-tahun di fakultas kedokteran. Begitupun profesi lainnya, seperti pengacara, arsitek, apoteker, psikolog, jaksa, hakim, pilot dan sebagainya. Jadi, bayangkan duit yang dikucurkan, bisa mencapai puluhan juta. Belum lagi bila melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, pasca sarjana, S-2 dan S-3. Eh, walau dana yang digelontorkan gede-gedean, tapi secarik kertas ijasah belum menjadi jaminan meraih masa depan. Atau setidaknya, mengail pekerjaan untuk membayar cost selama menekuni pendidikan.
Tak percaya? Tengoklah saat sebuah televisi swasta, Trans TV, membuka lowongan pekerjaan. Jumlah mereka yang melamar – Masya Allah – lebih dari 100 ribu, hingga testnya terpaksa dilakukan di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.
Saking banyak pelamar, sampai-sampai Musium Rekor Indonesia (MURI), menjadi gatal. Lembaga yang diawaki oleh tokoh humor Indonesia, Jaya Suprana, menganugerahkan Trans TV sebagai pemegang rekor pelamar terbanyak di negeri ini. Padahal, asal tahu saja, dari 100 ribu pelamar itu, yang diterima menjadi karyawan hanya 500. Nah, sisanya itu bakal ke mana? Inilah sekian dari "pekerjaan rumah" presiden pilihan rakyat yang kini dikritik cuma tebar pesona – pasangan SBY – JK.
MURI yang diperoleh Trans TV, sejentik pun tak bakal terjadi di network marketing. Maklumlah, di bisnis ini mereka yang ingin menjadi networker, tak perlu mengikuti pelbagai ujian, seperti tes psikotes, interview, kesehatan dan sebagainya. Siapa saja, tanpa memandang status sosial, berhak menjadi networker. Bahkan, saat resmi menyandang atribut networker – siapa pun Anda, detik ini juga kans menjadi jutawan terbuka lebar.
Syaratnya pun tidak njelimet. Begitu sederhana. Bukan ditentukan sederet gelar sarjana, modal besar, punya skill dan reputasi segudang. Melainkan kemauan, hasrat, antusias dan daya juang yang tak mengenal menyerah. Kenapa? Sebab, sukses ataupun jutawan, merupakan produk dan pikiran yang di implementasikan keberanian bertindak, berani menghadapi dan melewati pelbagai kegagalan.
Lagipula, meminjam istilah motivator terbaik negeri ini, Andrie Wongso, sukses adalah hak semua orang. Dan sukses terwujud, karena diikhtiarkan melalui target yang jelas, perencanaan yang matang, keyakinan, kerja keras, keuletan dan niat baik. Jadi, bukan semata-mata rezeki nomplok yang jatuh dari langit.
Sebagai contoh, lihatlah perjalanan hidup raja tanker asal Yunani, mendiang Aristotle Onassis. Di sekolah, pria kelahiran 20 Januari 1906 di Smyrna, sebuah kota di Yunani yang makmur di tepi barat Turki, dikenal bodoh. Sekolahnya beberapa kali pindah, dan kerap kali di usir karena suka bikin perkara. Begitupun nilai rapornya, jauh dari angka bagus. Ia langganan menempati rangking bawah.
Meski tidak lulus SMA, tidak membuat Onassis, demikian sebutan akrabnya, menjadi kecut. Ia nekat hijrah ke Argentina, tiba di Buenos Aries, September 1923. Walau tanpa ijasah, tanpa keterampilan yang dimiliki dan uang saku yang minim, ia mampu menundukan kota itu lewat tekadnya yang luar biasa. Demi menyambung hidup, ia pernah menjadi kenek tukang batu, kuli angkut batu bata pada sebuah bangunan, tukang cuci piring di restoran dan sebagainya.
Tidak disangka, Argentina mengasah dan menumbuhkembangkan jiwa entrepreneurnya. Memulai sebagai makelar tembakau yang didatangkan dari negerinya, kiprah bisnisnya merambah ke jual beli kapal bekas, membuat kapal-kapal baru yang membuat dirinya dijuluki sebagai raja tanker, banker dan sebagainya. Kesuksesan dan entrepreneurnya yang piawai itu, membuat janda cantik Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, Jacquiline Bouvier Kennedy, pasrah dalam pelukan mantan kenek tukang batu tersebut.
PERILAKU
Lantas, hikmah apa yang dipetik dari kisah “pemulung" asal Yunani tersebut? Lagi-lagi soal entrepreneur, jutawan maupun kesuksesan, merupakan sebuah perilaku yang dibentuk oleh pikiran. Bukan sematamata dan status sosial bersangkutan. Tengoklah saat Onassis masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Walau bodoh di sekolah, tapi bakat dagangnya begitu menonjol.
Contohnya, ketika terjadi kebakaran di sebuah gedung sekolah. Onassis kecil membeli setumpuk pinsil bekas yang hangus terbakar. Lalu, bersama temannya, pinsil-pinsil itu dibersihkan. Ia menjual pada teman-temannya di sekolah. Harganya, walau terbilang murah, tapi ada keuntungan yang diperoleh. Dari sinilah, banyak rekannya mengakui keunggulan bakatnya sebagai entrepreneur.
Perilaku entrepreneur Onassis itu, memang pas seperti digambarkan oleh pakar manajemen Peter F. Drucker. Dalam bukunya Innovation and Entrepreneurship, Peter menyebutkan setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab, kewirausahaan lebih merupakan perilaku ketimbang gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori. Bukan pada instuisi.
Nah, perilaku, konsep dan teori, tidak mutlak diajarkan di sekolah maupun kampus. Sepanjang mau belajar, ketiga hal tersebut dapat dipelajari di mana saja, termasuk network marketing. Bahkan, di bisnis yang akrab dengan sebutan membangun jaringan ini, sangat kental dengan aroma perilaku, konsep dan teori entrepreneur. Dengar saja pujian yang dilontarkan pakar kebebasan finansial, Robert T. Kiyosaki.
Dalam bukunya berjudul The Rich Dad's Business People, orang Hawaii, Amerika Serikat, keturunan Jepang ini menilai sukses di network marketing tidak mutlak ditentukan oleh produk berkualitas maupun marketing plan yang menggiurkan, tapi juga rancangan pendidikan, yang dinilainya untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Bahkan, Robert menyamakan sebagai pendidikan bisnis yang dapat mengubah hidup. Makanya, "kurikulum" dari training network marketing bukan hanya teori. Melainkan berhubungan dengan kehidupan nyata.
Kurikulum itu, antara lain, sikap terhadap kesuksesan, keahlian memimpin, keahlian berkomunikasi, mengatasi ketakutan pribadi, keraguan, tidak percaya diri, keahlian menajemen uang dan waktu, penentuan tujuan dan sebagainya.
Penulis buku Cashflow Quadrant ini juga mengaku telah mempelajari perusahaan network marketing mendorong anggotanya untuk pembelajaran fisik. Mereka, kata Robert, mendorong anggotanya untuk menghadapi ketakutan dengan bertindak, melakukan kesalahan, belajar dari kesalahan, dan menjadi lebih kuat secara mental, secara emosional, dan secara fisik dari prosesnya.
Kondisi ini amat kontras dengan pendidikan formal (sekolah) yang hanya mendorong seseorang mempelajari fakta, lalu secara emosional mengajar untuk takut melakukan kesalahan. Hidup selalu diliputi ketakutan, dinilai Robert tidak sehat, baik secara mental, emosional, fisik dan finansial.
Billi PS Lim, seorang pakar kegagalan dari Malaysia, mengamini pendangan dan Robert tersebut. Kata Billi, pendidikan formal banyak melatih muridnya takut gagal. Selalu saja ada sanksi yang diberikan siswa terhadap kegagalan maupun kesalahan yang dilakukan. Akibatnya, setelah keluar dan sekolah ataupun perguruan tinggi, mereka dihantui takut gagal.
"Cara-cara seperti ini tidak benar. Jadi, perlu dibuat pelajaran tentang bagaimana gagal. Bukan jangan gagal," ujar penulis buku best seller, Dare to Fail. Tapi, pria berkepala plontos ini mengingatkan para guru yang mengajar tentang kegagalan itu "dicuci otaknya" terlebih dahulu. Mereka harus "bersih" dari paradigma lama. Ia mengusulkan para guru yang mengajar kegagalan itu sebaiknya berasal dari kalangan entrepreneur. Sebab, mereka punya pengalaman dan jam terbang tentang kegagalan itu sendiri.
MENCONTEK LEADER
Ternyata, apa yang diusulkan Billi tadi, diakomodir sekaligus menjadi denyut nadi pembelajaran di network marketing. Maklumlah, mereka yang menjadi pengajar, tak lain adalah para leader maupun upline, yang kemampuannya secara empiris sudah teruji. Itu dapat dilihat dari bonus yang mereka peroleh, peringkat yang dicapai, maupun menerima pelbagai penghargaan. Suka duka membangun bisnis, dicemooh dan ditolak prospek, sampai menemukan metode yang efektif, dituangkan dalam "kurikulum" sekolah bisnis yang didirikan, support system. Nah, "kurikulum" di support system itu menjadi rujukan alias guideline para member mencapai kesuksesan.
"Support system itu merupakan metode empiris yang sudah teruji, yang merupakan sebuah share para leader kepada jaringannya. Mereka tidak ingin jaringan membuat kesalahan diawal seperti yang mereka lakukan dulu," jelas Ferdinand F. Liu, yang bersama leader lainnya membidani sekolah bisnis networking.
Karena metode empiris yang teruji, maka setiap networker tinggal mencontek langkah-langkah yang dianjurkan support system, tanpa perlu memikirkan sebuah cara baru lagi yang lebih efektif. Hasilnya tidak sia-sia. Network marketing boleh dibilang lahan subur dalam mencetak jutawan. Mereka berasal dari pelbagai lapisan sosial. Ada ibu rumah tangga, mahasiswa, karyawan, profesional, bankir, pengusaha, seniman sampai kepada wong cilik yang bekalnya ke bisnis ini begitu pas-pasan, baik pendidikan maupun modal yang dikucurkan.
Bahkan, seperti dilansir oleh Majalah Warta Ekonomi edisi 26 Maret 2001, networker termasuk profesi termahal, sejajar dengan entertainer, konsultan manajemen, pengacara, head hunter, dokter spesialis, pekerja IT dan sebagainya. Cuma, di luar networker, profesi-profesi itu "legalitas"nya ditentukan secarik lembar ijasah, "jam terbang" dan sebagainya. Sedangkan networker, detik ini juga bergabung, berhak menyandang profesi termahal tersebut, lalu mencontek perilaku entrepreneurship leader maupun upline.
Jadi, gak susah kan menjadi jutawan. Tinggal mencontek dan mengikuti ilmunya leader maupun upline. Masa sih, meminjam istilah popular Gus Dur, mantan Presiden RI ketiga, mencontek aja kok repot.
DETIK INI JUGA ANDA BISA JADI JUTAWAN !
Cobalah cari, profesi apa yang paling demokratis, paling jauh dari diskriminasi?
Telunjuk kita bakal mengarah pada network marketing. Sebab, bila detik ini juga Anda ingin jadi networker – sebutan bagi pelaku bisnis network marketing, detik ini juga Anda bakal menyandang profesi itu. Anda tidak bakal ditanya modal yang dikucurkan, tidak ditanya gelar sarjana yang disandang, tidak ditanya asal usul keluarga, tidak ditanya skill (kemampuan) yang dimiliki dan sebagainya.
Tapi, bandingkanlah dengan profesi dokter, misalnya. So pasti, Anda mesti kuliah bertahun-tahun di fakultas kedokteran. Begitupun profesi lainnya, seperti pengacara, arsitek, apoteker, psikolog, jaksa, hakim, pilot dan sebagainya. Jadi, bayangkan duit yang dikucurkan, bisa mencapai puluhan juta. Belum lagi bila melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, pasca sarjana, S-2 dan S-3. Eh, walau dana yang digelontorkan gede-gedean, tapi secarik kertas ijasah belum menjadi jaminan meraih masa depan. Atau setidaknya, mengail pekerjaan untuk membayar cost selama menekuni pendidikan.
Tak percaya? Tengoklah saat sebuah televisi swasta, Trans TV, membuka lowongan pekerjaan. Jumlah mereka yang melamar – Masya Allah – lebih dari 100 ribu, hingga testnya terpaksa dilakukan di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.
Saking banyak pelamar, sampai-sampai Musium Rekor Indonesia (MURI), menjadi gatal. Lembaga yang diawaki oleh tokoh humor Indonesia, Jaya Suprana, menganugerahkan Trans TV sebagai pemegang rekor pelamar terbanyak di negeri ini. Padahal, asal tahu saja, dari 100 ribu pelamar itu, yang diterima menjadi karyawan hanya 500. Nah, sisanya itu bakal ke mana? Inilah sekian dari "pekerjaan rumah" presiden pilihan rakyat yang kini dikritik cuma tebar pesona – pasangan SBY – JK.
MURI yang diperoleh Trans TV, sejentik pun tak bakal terjadi di network marketing. Maklumlah, di bisnis ini mereka yang ingin menjadi networker, tak perlu mengikuti pelbagai ujian, seperti tes psikotes, interview, kesehatan dan sebagainya. Siapa saja, tanpa memandang status sosial, berhak menjadi networker. Bahkan, saat resmi menyandang atribut networker – siapa pun Anda, detik ini juga kans menjadi jutawan terbuka lebar.
Syaratnya pun tidak njelimet. Begitu sederhana. Bukan ditentukan sederet gelar sarjana, modal besar, punya skill dan reputasi segudang. Melainkan kemauan, hasrat, antusias dan daya juang yang tak mengenal menyerah. Kenapa? Sebab, sukses ataupun jutawan, merupakan produk dan pikiran yang di implementasikan keberanian bertindak, berani menghadapi dan melewati pelbagai kegagalan.
Lagipula, meminjam istilah motivator terbaik negeri ini, Andrie Wongso, sukses adalah hak semua orang. Dan sukses terwujud, karena diikhtiarkan melalui target yang jelas, perencanaan yang matang, keyakinan, kerja keras, keuletan dan niat baik. Jadi, bukan semata-mata rezeki nomplok yang jatuh dari langit.
Sebagai contoh, lihatlah perjalanan hidup raja tanker asal Yunani, mendiang Aristotle Onassis. Di sekolah, pria kelahiran 20 Januari 1906 di Smyrna, sebuah kota di Yunani yang makmur di tepi barat Turki, dikenal bodoh. Sekolahnya beberapa kali pindah, dan kerap kali di usir karena suka bikin perkara. Begitupun nilai rapornya, jauh dari angka bagus. Ia langganan menempati rangking bawah.
Meski tidak lulus SMA, tidak membuat Onassis, demikian sebutan akrabnya, menjadi kecut. Ia nekat hijrah ke Argentina, tiba di Buenos Aries, September 1923. Walau tanpa ijasah, tanpa keterampilan yang dimiliki dan uang saku yang minim, ia mampu menundukan kota itu lewat tekadnya yang luar biasa. Demi menyambung hidup, ia pernah menjadi kenek tukang batu, kuli angkut batu bata pada sebuah bangunan, tukang cuci piring di restoran dan sebagainya.
Tidak disangka, Argentina mengasah dan menumbuhkembangkan jiwa entrepreneurnya. Memulai sebagai makelar tembakau yang didatangkan dari negerinya, kiprah bisnisnya merambah ke jual beli kapal bekas, membuat kapal-kapal baru yang membuat dirinya dijuluki sebagai raja tanker, banker dan sebagainya. Kesuksesan dan entrepreneurnya yang piawai itu, membuat janda cantik Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, Jacquiline Bouvier Kennedy, pasrah dalam pelukan mantan kenek tukang batu tersebut.
PERILAKU
Lantas, hikmah apa yang dipetik dari kisah “pemulung" asal Yunani tersebut? Lagi-lagi soal entrepreneur, jutawan maupun kesuksesan, merupakan sebuah perilaku yang dibentuk oleh pikiran. Bukan sematamata dan status sosial bersangkutan. Tengoklah saat Onassis masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Walau bodoh di sekolah, tapi bakat dagangnya begitu menonjol.
Contohnya, ketika terjadi kebakaran di sebuah gedung sekolah. Onassis kecil membeli setumpuk pinsil bekas yang hangus terbakar. Lalu, bersama temannya, pinsil-pinsil itu dibersihkan. Ia menjual pada teman-temannya di sekolah. Harganya, walau terbilang murah, tapi ada keuntungan yang diperoleh. Dari sinilah, banyak rekannya mengakui keunggulan bakatnya sebagai entrepreneur.
Perilaku entrepreneur Onassis itu, memang pas seperti digambarkan oleh pakar manajemen Peter F. Drucker. Dalam bukunya Innovation and Entrepreneurship, Peter menyebutkan setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab, kewirausahaan lebih merupakan perilaku ketimbang gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori. Bukan pada instuisi.
Nah, perilaku, konsep dan teori, tidak mutlak diajarkan di sekolah maupun kampus. Sepanjang mau belajar, ketiga hal tersebut dapat dipelajari di mana saja, termasuk network marketing. Bahkan, di bisnis yang akrab dengan sebutan membangun jaringan ini, sangat kental dengan aroma perilaku, konsep dan teori entrepreneur. Dengar saja pujian yang dilontarkan pakar kebebasan finansial, Robert T. Kiyosaki.
Dalam bukunya berjudul The Rich Dad's Business People, orang Hawaii, Amerika Serikat, keturunan Jepang ini menilai sukses di network marketing tidak mutlak ditentukan oleh produk berkualitas maupun marketing plan yang menggiurkan, tapi juga rancangan pendidikan, yang dinilainya untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Bahkan, Robert menyamakan sebagai pendidikan bisnis yang dapat mengubah hidup. Makanya, "kurikulum" dari training network marketing bukan hanya teori. Melainkan berhubungan dengan kehidupan nyata.
Kurikulum itu, antara lain, sikap terhadap kesuksesan, keahlian memimpin, keahlian berkomunikasi, mengatasi ketakutan pribadi, keraguan, tidak percaya diri, keahlian menajemen uang dan waktu, penentuan tujuan dan sebagainya.
Penulis buku Cashflow Quadrant ini juga mengaku telah mempelajari perusahaan network marketing mendorong anggotanya untuk pembelajaran fisik. Mereka, kata Robert, mendorong anggotanya untuk menghadapi ketakutan dengan bertindak, melakukan kesalahan, belajar dari kesalahan, dan menjadi lebih kuat secara mental, secara emosional, dan secara fisik dari prosesnya.
Kondisi ini amat kontras dengan pendidikan formal (sekolah) yang hanya mendorong seseorang mempelajari fakta, lalu secara emosional mengajar untuk takut melakukan kesalahan. Hidup selalu diliputi ketakutan, dinilai Robert tidak sehat, baik secara mental, emosional, fisik dan finansial.
Billi PS Lim, seorang pakar kegagalan dari Malaysia, mengamini pendangan dan Robert tersebut. Kata Billi, pendidikan formal banyak melatih muridnya takut gagal. Selalu saja ada sanksi yang diberikan siswa terhadap kegagalan maupun kesalahan yang dilakukan. Akibatnya, setelah keluar dan sekolah ataupun perguruan tinggi, mereka dihantui takut gagal.
"Cara-cara seperti ini tidak benar. Jadi, perlu dibuat pelajaran tentang bagaimana gagal. Bukan jangan gagal," ujar penulis buku best seller, Dare to Fail. Tapi, pria berkepala plontos ini mengingatkan para guru yang mengajar tentang kegagalan itu "dicuci otaknya" terlebih dahulu. Mereka harus "bersih" dari paradigma lama. Ia mengusulkan para guru yang mengajar kegagalan itu sebaiknya berasal dari kalangan entrepreneur. Sebab, mereka punya pengalaman dan jam terbang tentang kegagalan itu sendiri.
MENCONTEK LEADER
Ternyata, apa yang diusulkan Billi tadi, diakomodir sekaligus menjadi denyut nadi pembelajaran di network marketing. Maklumlah, mereka yang menjadi pengajar, tak lain adalah para leader maupun upline, yang kemampuannya secara empiris sudah teruji. Itu dapat dilihat dari bonus yang mereka peroleh, peringkat yang dicapai, maupun menerima pelbagai penghargaan. Suka duka membangun bisnis, dicemooh dan ditolak prospek, sampai menemukan metode yang efektif, dituangkan dalam "kurikulum" sekolah bisnis yang didirikan, support system. Nah, "kurikulum" di support system itu menjadi rujukan alias guideline para member mencapai kesuksesan.
"Support system itu merupakan metode empiris yang sudah teruji, yang merupakan sebuah share para leader kepada jaringannya. Mereka tidak ingin jaringan membuat kesalahan diawal seperti yang mereka lakukan dulu," jelas Ferdinand F. Liu, yang bersama leader lainnya membidani sekolah bisnis networking.
Karena metode empiris yang teruji, maka setiap networker tinggal mencontek langkah-langkah yang dianjurkan support system, tanpa perlu memikirkan sebuah cara baru lagi yang lebih efektif. Hasilnya tidak sia-sia. Network marketing boleh dibilang lahan subur dalam mencetak jutawan. Mereka berasal dari pelbagai lapisan sosial. Ada ibu rumah tangga, mahasiswa, karyawan, profesional, bankir, pengusaha, seniman sampai kepada wong cilik yang bekalnya ke bisnis ini begitu pas-pasan, baik pendidikan maupun modal yang dikucurkan.
Bahkan, seperti dilansir oleh Majalah Warta Ekonomi edisi 26 Maret 2001, networker termasuk profesi termahal, sejajar dengan entertainer, konsultan manajemen, pengacara, head hunter, dokter spesialis, pekerja IT dan sebagainya. Cuma, di luar networker, profesi-profesi itu "legalitas"nya ditentukan secarik lembar ijasah, "jam terbang" dan sebagainya. Sedangkan networker, detik ini juga bergabung, berhak menyandang profesi termahal tersebut, lalu mencontek perilaku entrepreneurship leader maupun upline.
Jadi, gak susah kan menjadi jutawan. Tinggal mencontek dan mengikuti ilmunya leader maupun upline. Masa sih, meminjam istilah popular Gus Dur, mantan Presiden RI ketiga, mencontek aja kok repot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.