Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka, bukanlah hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu. Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya, sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."
Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota."
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43: 13-32)
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di rumahnya. "Abu'l-Hakam2, bagaimana pendapatmu tentang yang kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.
"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf. Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan membenarkannya."
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut Nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi'sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: "Umayya, sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar."
Atau seperti kata al-Walid bin'l-Mughira: "Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas'ud 'Amr b. 'Umair ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota."
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
"Dan mereka berkata: 'Kenapa Qur'an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?' Adakah mereka membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini." (Qur'an 43: 13-32)
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan pembacaan Qur'an, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl di rumahnya. "Abu'l-Hakam2, bagaimana pendapatmu tentang yang kita dengar dari Muhammad?" tanyanya kepada Abu Jahl.
"Apa yang kaudengar?" kata Abu Jahl. "Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga 'Abd Manaf. Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka menanggung kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba kata mereka: "Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit." Kapan kita akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan tidak akan membenarkannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.